Kebahagiaan yang tertunda, kedukaan yang sementara

 



Cobaan dari Allah selalu sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Agaknya kalimat tersebut-lah yang menguatkan kami (saya dan istri) di saat-saat ini. Qodarullah pekan lalu kami baru saja mendapat kepercayaan Allah untuk menghadapi sebuah cobaan, yang kami yakini pasti ada hikmah bersamanya. Istri saya mengalami keguguran di usia kehamilan sekitar 5 minggu. Tulisan ini dibuat untuk refleksi dalam rangka menyembuhkan kesedihan di hati.

Minggu pagi, saya dan istri sudah bersiap-siap pergi ke bidan untuk periksa kandungan. Alhamdulillah kami diberi anugerah dari Allah berupa kehamilan istri yang telah dikonfirmasi oleh dokter pada pekan sebelumnya. Semua baik-baik saja hari itu, kami diberi edukasi dan pengertian bagaimana menjaga kehamilan dan kesehatan. Satu pesan yang agak menjadi perhatian saya, kami diminta tidak terlalu banyak bepergian jauh menggunakan sepeda motor.

Agaknya pesan tersebut belum bisa kami lakukan mengingat jarak tempat kerja istri terpaut sekitar 27 km dari rumah kami. Sebenarnya kami sudah merencanakan 2 hal : (1) Istri mengundurkan diri dari tempat kerja dan (2) kami berencana untuk menyewa kos sembari menunggu proses pengunduran diri selesai. Namun Allah Swt berkehendak lain.

---

Senin pagi saat mengantar istri, tumben saya merasa sangat lelah. Bisa jadi, saya lelah karena harus menempuh jarak 27 km dengan kecepatan maksimal 20 km/jam agar tidak mengalami banyak guncangan. Kombinasi antara ramainya jalan protokol, padatnya lalu lintas Senin pagi, dan fokus berkendara secara hati-hati ternyata sangat menguras energi. Saat fisik terasa begitu lelah, tiba-tiba saja muncul pikiran menyalahkan diri saya sendiri.

-     Bagaimana bisa istrimu yang sedang hamil tetap kau ajak berkendara sepeda motor menempuh jarak yang begitu jauh?

-     Apa kau sebegitu susahnya hingga tidak bisa menyediakan fasilitas yang mengurangi resiko? Beli mobil lah, sewa kos langsung ketika tahu istri hamil lah, dll dll dll dll dll dll.

-     Kamu sudah berdoa setiap waktu meminta anugerah kehamilan, namun saat diberi anugerah kamu nampak seperti tidak menjaganya dengan baik. Apa itu adabmu kepada Allah?

-     Kalau sampai terjadi apa-apa dengan istrimu dan kandungannya, apa kamu bisa memaafkan dirimu sendiri?

Pikiran itu melintas berulang-ulang dan MELEDAK selepas saya menurunkan istri saya di tempat kerjanya. Sesudah putar balik memacu sepeda motor, saya menangis sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya, dan seputus asa-putus asanya. Hal yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Mungkin saja itu sebuah pertanda, firasat yang mengantarkan ke takdir berikutnya.

Senin siang saat sedang bekerja, istri tiba-tiba mengirim pesan WA kepada saya. Dia menyadari ada flek-flek yang muncul. Hal tersebut membuat kami berdua khawatir, hingga Senin malam kami memutuskan untuk periksa ke dokter kandungan. Saat diperiksa, dokter menyatakan bahwa janin anak kami masih ada dan usianya sudah masuk 5 minggu. Istri disarankan untuk beristirahat total selama 3 hari dan minum obat penguat kandungan.

---

Menjalankan apa yang disarankan dokter, istri benar-benar istirahat total sepanjang Selasa, Rabu, dan Kamis. Namun ternyata semua sudah digariskan takdir, pada Rabu dan Kamis, Istri mengalami semacam pendarahan dengan disertai gumpalan-gumpalan. Kami berdua yang benar-benar khawatir memutuskan untuk kembali periksa ke dokter pada Kamis sore.

Bak mimpi buruk yang menjadi kenyataan, dokter memvonis bahwa istri telah mengalami keguguran. Pada waktu itu kami syok, hampir tidak percaya, kami merasa belum siap menghadapi cobaan. Namun sebagai suami, saya tidak boleh terlalu lama berlarut dalam kegundahan. Hari itu benar-benar menjadi ujian kesiapan untuk menenangkan istri dan mengambil keputusan berikutnya.

Dokter merujuk kami kepada sebuah rumah sakit tempat ia praktik untuk segera melakukan tindakan kuretase (kuret). Setalah rasa syok kami agak mereda, kami memutuskan untuk langsung pergi ke rumah sakit. Setelah melakukan pendaftaran, kami masuk ruangan kamar untuk beristirahat dan menunggu jadwal tindakan pada esok pagi. Malam itu kami habiskan dengan saling berbagi kesedihan dan saling menguatkan.

---

Hari Jumat pun tiba. Sebuah hari yang mungkin akan terus kami kenang sebagai bagian perjalanan kelurga kami. Pagi jam 7.30, istri dijadwalkan menjalani tindakan kuretase. Detail tindakan medis akan kami ceritakan di lain waktu. Singkat cerita, Alhamdulillah tindakan berjalan lancar dan istri dapat kembali ke ruangan kamar untuk istirahat dan pemulihan. Melihat istri hanya bisa terbaring lemah mengingatkan kami akan janji untuk terus saling menjaga, saling melindungi, dan saling berbagi dalam senang dan sedih.

Sore hari selepas Maghrib, saya ditelfon keluarga untuk segera pulang. Saya diminta untuk segera “ngopeni” janin yang sudah dikeluarkan saat kuretase pagi tadi. Untungnya, ada simbah yang bersedia mengarahkan dan memimpin prosesnya. Bagi saya dan istri, kami percaya bahwa kehamilan sebelum masuk usia 4 bulan belum ditiupkan ruh ke dalamnya, jadi untuk proses “ngopeni” janinnya hanya sekadar dikebumikan sebagaimana mestinya.

Pengalaman mengebumikan janin sepertinya akan terus menempel di ingatan saya. Adagium “Tidak ada orang tua yang pernah siap menguburkan anaknya sendiri” memang benar adanya. Saya hanyalah suami dan calon ayah yang berusia 30 tahun, yang sudah harus siap mengebumikan janin anak sendiri. Namun sekali lagi saya percaya bahwa cobaan dari Allah selalu sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Saya yakin saya kuat, saya yakin kami kuat, kami yakin kami kuat.

Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan dan kesabaran kepada kita semua.

You Might Also Like

0 komentar